Monday, May 6, 2013

Menciptakan Inovator - inovator baru

Para orang tua dan pendidik pada umumnya berusaha untuk membuat siswa atau anaknya untuk siap memasuki universitas terbaik minimal di negrinya. Pada umumnya (termasuk orang tua saya dulu) akan sangat bangga bila anaknya mengambil jurusan ilmu pengetahuan, teknik dan matematika. Ada anggapan bahwa jurusan-jurusan tersebut "lebih bergengsi". Namun bagi Wagner (penulis buku creating innovators), tujuan yang paling penting adalah seluruh siswa baik lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi harus "siap berinovasi" atau "innovation-ready". untuk mencapai tujuan ini, orang tua dan para pendidik harus mengembangkan rasa ingin tahu siswa, mengembangkan imaginasi, dan yang paling penting mengajarkan keterampilan-keterampilan.

Memasukkan anak ke sekolah yang "tepat" dan memperoleh nilai yang bagus tidak lagi menjadi jaminan keberhasilan. Seperti kita ketahui, banyak lulusan perguruan tinggi yang setelah lulus tetapi tidak berhasil memperoleh pekerjaan. Sehingga menurut Wagner anak-anak muda yang telah mengembangkan kapasitasnya untuk menjadi inovatif dan memiliki enterprenership adalah mereka yang tertarik dalamam menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri, sehingga akan memiliki kehidupan yang memuaskan dan karir yang lebih menjanjikan di masa depan. Inovasi adalah keterampilan yang dituntut lebih banyak pada dunia kerja saat ini dan sesuatu yang tidak dapat diperoleh secara otomatis atau di outsourcing-kan.

Hasil interview Wagner dengan para orang tua yang memiliki pemikiran inovatif, diketahui bahwa bagi para orang tua tersebut mengembangkan motivasi intrinsik anak adalah tujuan utama mereka. Mereka melakukannya dengan mendorong anak-anak untuk bermain, punya passion dan juga tujuan.

Wagner juga menemukan bahwa para orang tua tersebut mendorong jenis permainan yang tidak terstruktur dan mendorong motivasi anak. Anak-anak diberikan permainan yang mendorong kreatifitas seperti Lego dan bukan video game. Para orang tua tersebut juga hanya mengizinkan anak untuk menonton dalam waktu terbatas dan komputer diletakkan di ruang keluarga dan bukan di kamar anak sehingga penggunaanya bisa dimonitor.

Para orang tua memberikan kesempatan bagi anak nya untuk meng-eksplore berbagai macam kegiatan aktivitas diluar rumah, olah raga dan alat musik. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan ketertarikan anak dan bukan untuk menjadikan anak menjadi atlit hebat atau musisi hebat. Orang tua dari seorang inovator memahami  bahwa daya tahan (preserverance) dan disiplin untuk dapat berkembang dengan dengan baik bila anak sudah memiliki passion

Wagner juga mengadakan interview dengan guru-guru yang luar biasa, dia menemukan bahwa guru-guru tersebut menekankan pentingnya motivasi intrinsik, passion dan tujuan. Disaat bersamaan mengajarkan siswa untuk bekerja dalam kelompok, berani mengambil resiko (take risks) dan belajar dari kegagalan. Kirk Phelps, seorang pengembang produk iPhone pertama, mengajarkan para siswanya untuk memecahkan masalah dalam tim melalui projek yang menggabungkan beberapa mata pelajaran (dalam kurikulum international, dikenal dengan nama interdiciplinary project). 

Tidak semua anak muda akan menjadi Steve Jobs baru, namun kebanyakan para generasi muda dapat belajar keterampilan-keterampilan yang dapat menghasilkan pendekatan inovatif yang lebih banyak  terhadap apa yang mereka lakukan. Bagaimana cara para orang tua dan pendidik membesarkan dan mengajarkan generasi berikutnya pastinya akan membuat perbedaan.


sumber : www.tonywagner.com

Menciptakan Siswa Yang Ber-inovasi

Saat ini banyak lembaga pendidikan yang meng-claim sebagai lembaga pendidikan yang terbaik dengan menawarkan berbagai bentuk pembelajaran. Ada yang menawarkan program persiapan memasuki universitas, bentuk pembelajaran online, e-texts, dsb. Namun, pada dasarnya mereka hanya mengubah sifat bagaimana pembelajaran disampaikan kepada pembelajar.  Fokus utamanya biasanya adalah bagaimana untuk memperoleh nilai dengan baik. Padahal untuk sukses di abad ke-21 ini, diperlukan tidak sekedar seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki siswa namun lebih kepada bagaimana siswa tersebut menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.

Saat ini, pengetahuan merupakan free commodity. Kesempatan untuk belajar lebih terbuka dan terjangkau misalnya dengan program pembelajaran gratis (meskipun belum 100%), pendidikan universitas (misalnya UT) yang terjangkau, ditunjang dengan kemudahan mendapatkan informasi, misalnya dengan mengakses internet, hal ini membuat pengetahuan bisa dimiliki oleh siapa saja dan tidak lagi menjadi nilai saing bagi pemiliknya.

Menurut Wagner (pakar pendidikan dari Harvard university) yang paling penting dalam tantangan dunia pendidikan saat ini adalah bagaimana meluluskan siswa-siswa yang siap berinovasi atau innovation-ready. Hal ini didukung oleh Thomas L. Friedman (New York Times columnist) yang menyatakan bahwa saat ini, untuk mendapatkan pekerjaan, para lulusan bersaing dengan siswa-siswa dari seluruh dunia, sehingga mereka yang akan mendapatkan pekerjaan dan terus dapat bekerja dalam perekonomian global adalah mereka yang memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah (problem solving). Mereka yang memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah akan mampu untuk memperbaiki produk, proses dan layanan yang ada bahkan menciptakan  yang baru.

Meskipun banyak perdebatan yang mengemukakan bahwa seseorang yang hebat (misalnya pemimpin) karena memang sudah terlahir demikian, namun ada teori yang mengemukakan bahwa seorang pemimpin juga bisa diciptakan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa generasi muda juga bisa diajarkan untuk berinovasi meskipun mereka tidak dilahirkan sebagai inovator. Wagner memberikan contoh sekolah bernama High Tech atau the New Technology High Schools di San Diego, California yang memiliki reputasi dalam menghasilkan lulusan yang inovatif. Sekolah tersebut mengajarkan cara yang sangat berbeda dengan pendidikan konvensional.

Sekolah-sekolah tersebut fokus pada pembelajaran keterampilan dan bukan pada konten akademis, termasuk keterampilan berpikir kritis dan problem-solving, mereka mengajarkan cara berkomunikasi efektif baik lisan maupun tulisan dan juga keterampilan untuk bertahan seperti kolaborasi dan inisiatif. Mereka membuat siswa terlibat dan tertantang dengan konten akademis meskipun penguasaan konten (content mastery) bukan merupakan tujuan pembelajaran utama mereka. Dalam seluruh kelas, siswa harus menggunakan konten akademis untuk memecahkan masalah dan menghasilkan atau menjawab pertanyaan kompleks. Siswa diminta untuk mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari dan menunjukkan apa yang mereka ketahui. Siswa juga lebih sering melakukan nya dalam kerja kelompok.



sumber : www. tonywagner.com

Wednesday, May 1, 2013

Penelitian Tindakan Kelas (Action Research)

        Penelitian Tindakan Kelas (Action Research)

  Menurut Carr & Kemmis dalam (Wardhani,2007) penelitian tindakan kelas (PTK) adalah bentuk refleksi sendiri yang dilakukan oleh guru, siswa atau kepala sekolah dalam situasi sosial atau pendidikan untuk meningkatkan rasionalitas dan kepantasan pada praktek sosial mereka sendiri atau praktek pendidikan berlangsung. Sedangkan Fraenkel(2008) mendefinisikan PTK sebagai penelitian yang dilakukan oleh satu atau lebih individu atau kelompok dengan tujuan untuk memecahkan masalah atau memperoleh informasi untuk dibagikan ke lingkungan. Kemudian Igak Wardani(2007) mendefinisikannya sebagai penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PTK adalah suatu usaha dari individu/kelompok untuk meningkatkan atau menyelesaikan keadaan/situasi yang tidak memuaskan. 
          Tujuan PTK adalah untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam lingkungan sosial atau pendidikan. PTK juga bertujuan untuk memperbaiki kinerja seseorang misalnya kinerja guru di kelasnya. Lebih jauh lagi PTK bertujuan untuk memperbaiki dasar pemikiran dan kepantasan dari praktik-praktik, pemahaman terhadap praktik tersebut, serta situasi atau lembaga praktik tersebut dilaksanakan. 
          PTK dapat dilaksanakan oleh individu atau kelompok, guru, guru BP, kepala sekolah juga lembaga kesiswaan. Pada dasarnya PTK dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkomitment melakukan peningkatan baik pada performanya juga pada lembaga di mana seseorang terlibat.
              Adapun ciri-ciri PTK menurut Wardhani (2007) adalah:
1. adanya masalah 
    guru menyadari bahwa ada masalah yang terjadi dalam pembelajaran yang selama ini berlangsung sehingga guru merasa perlu memperbaikinya. Dengan kata lain, guru memiliki kepedulian yang tinggi dengan kualitas pendidikan yang berlangsung. Hal inilah yang membedakan masalah dalam PTK dengan penelitian lain.
Beberapa contoh masalah yang terjadi misalnya pertanyaan guru yang tidak pernah terjawab oleh siswa, pekerjaan rumah yang tidak pernah diselesaikan oleh siswa atau sekelompok siswa yang selalu berusaha menentang perintah guru.
2. refleksi diri
refleksi diri merupakan ciri PTK yang paling esensial karena PTK mempersyaratkan guru mengumpulkan data dari praktiknya sendiri melalui refleksi diri. Dari hasil refleksi tersebut , guru mencoba menemukan kelemahan dan kekuatan dari tindakan yang dilakukannya dan kemudian mencoba memperbaiki kelemahan dan mengulangi bahkan menyempurnakan tindakan yang dianggap sudah baik. Jadi, data dikumpulkan dari praktek sendiri bukan dari sumber data yang lain. Beberapa contoh refleksi diri : apakah penjelasan saya terlampau cepat? apakah saya sudah memberikan contoh yang memadai? apakah siswa memahami penjelasan saya? dll.
3. dilakukan di dalam kelas 
Fokus PTK adalah kegiatan pembelajaran berupa perilaku guru dan siswa dalam melakukan interaksi
4. bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran
Perbaikan dilakukan secara bertahap dan terus-menerus, selama kegiatan penelitian dilakukan. Karena kegiatan yang berulang-ulang, dalam PTK dikenal adalanya siklus pelaksanaa yaitu perencanaan-pelaksanaan-observasi-refleksi-revisi (perencanaan ulang).
                Langkah-langkah dalam melakukan PTK menurut Fraenkel (2008) adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah
    Langkah pertama dalam PTK adalah mengklarifikasi masalah yang menjadi concern.  PTK biasanya menyelesaikan masalah yang sangat sempit. namun juka PTK dilakukan oleh sekelompok guru yang memutuskan untuk bekerja bersama dalam proyek jangka panjang, penelitian bisa lebih panjang. Sehingga, pertanyaan penelitian seperti " Bagaimana cara terbaik untuk mengajar sebuah topik?" lebih tepat dibandingkan dengan pertanyaan penelitian " apakah model pembelajaran A lebih baik daripada model pembelajara B?".
2. Mengumpulkan informasi
Setelah masalah diidentifikasi, langkah berikutnya adalah memutuskan data-data apa saja yang dibutuhkan dan bagaimana memperolehnya. Misalnya saja data akan diperoleh dengan cara survey, observasi, interview, dsb.
3. Menganalisa dan menginterpretasi
Setelah data dikumpulkan, data-data yang diperoleh harus dianalisa sehingga fakta dapat terungkap.
4. Mengembangkan perencanaan
langkah berikutnya adalah membuat perencanaan untuk mengimplementasikan perubahan berdasarkan penemuan pada langkah 3.
            Lebih detail Wardhani(2007) mengemukakan bahwa PTK dilaksanakan melalui proses pengkajian berdaur, yang terdiri dari 4 tahap, yaitu merencanakan, melakukan tindakan, mengamati, dan melakukan refleksi.
keempat tahap tersebut merupakan satu siklus atau daur, sehingga setiap tahap akan berulang kembali. setiap tahap dapat terdiri dari atau didahului oleh beberapa langkah, misalnya langkah merencanakan didahului oleh munculnya masalah yang diidentifikasi oleh guru. Tahap merencanakan dan melakukan dikaji dengan empat langkah utama yaitu: 
1. mengidentifikasi masalah
    masalah berasal dari guru sebagai pengelola pembelajaran. Guru perlu merenung atau melakukan refleksi untuk mengetahui masalah dengan jelas. Bila seorang guru bingung untuk mengidentifikasi maslah, guru dapat mulai dengan suatu gagasan untuk melakukan perbaikan, kemudian mencoba memfokuskan gagasan tersebut. 
2. menganalisis dan merumuskan masalah
    setelah masalah teridentifikasi, analisis perlu dilakukan agar dapat merumuskan maslah dengan jelas. misalanya, jika masalah yang kita identifikasi adlah rendahnya motivasi belajar siswa, maka yang perlu dianalisi adlah dokumen tentang hasil belajar siswa, catatan harian kita tentang respons siswa dlam pembelajaran, dan yang paling penting melakukan refleksi, agar diperoleh gambaran yang jelas tentang perilaku mengajar kita.
3. merencanakan PTK
    langkah-langkah dalam menyusus rencana adalah sebagai berikut:
    a. rumuskan cara perbaikan yang akan ditempuh dalam bentuk hipotesis tindakan
    b. analisis kelayakan hipotesis tindakan
4. melaksanakan PTK
    Setelah meyakini bahwa hipotesis tindakan atau rencana perbaikan sudah cukup layak, maka langkah selanjutnya adalah persiapan pelaksanaan, yang sebenarnya dapat merupakan bagian dari perencanaan, tetapi dapat pula kita tempatkan sebagai bagian awal dari pelaksanaan. setelah persiapan ini mantap, barulah kita mulai dengan pelaksanaannya di kelas

keempat langkah di atas merupakan langkah yang berurutan yang berarti langkah pertama harus dikerjakan lebih dahulu sebelum langkah kedua dilaksanakan, demikian seterusnya.



              



Fitur Kelas Berpikir Kritis (features of critical thinking classroom)



Review Artikel


Ringkasan Isi Artikel

Membedakan Fitur Kelas Berpikir Kritis
(Artikel asli berjudul Distinguishing Features of Critical Thinking Classroom)

Berpikir kritis muncul dalam berbagai bentuk tapi semua memiliki satu inti fitur. Berpikir kritis berfokus pada sejumlah keterampilan dan sikap yang memungkinkan pendengar atau pembaca untuk menerapkan kriteria rasional terhadap penalaran pembicara dan penulis (Browne & Keeley, 1998). Sikap dan keterampilan ini merupakan materi kurikulum dan teks berpikir kritis yang signifikan.

Sering Mengevaluasi pertanyaan.

Berpikir kritis benar-benar merupakan aktifitas peserta. Disini kita fokus pada apa yang nampak bagi kita sebagai karakteristik utama dari kelas berpikir kritis, yaitu, kelas yang penuh dengan pertanyaan. Guru bertanya beberapa dari mereka dan mereka bertanya kepada yang lain. Setiap pernyataan deklaratif disambut sebagai sebuah kesempatan untuk bergerak ke arah pertanyaan tambahan (Meyer, 1994). 
Secara tidak langsung Meyer menyoroti percakapan penting tentang mengajukan serangkaian pertanyaan-pertanyaan kritis.
Berpikir kritis membutuhkan pemahaman. Untuk mengevaluasi penalaran, seseorang harus memahaminya terlebih dulu. Akibatnya, pertanyaan-pertanyaan yang menggali kesimpulan dan alasan dalam sebuah argumen merupakan titik awal yang penting untuk berpikir kritis (Shaw, 1996). Guru dapat memberikan bantuan bagi siswanya dengan bertanya `mengapa?" dan memberikan penguatan ketika siswa juga melakukan pencarian untuk alasan-alasan.
Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana untuk mengajukan pertanyaan kritis harus dilengkapi dengan penciptaan iklim emosional yang konsisten dengan mencari keyakinan kuat serta memerlukan bimbingan dari guru yang terlatih.

Dorongan Belajar Aktif
Mendorong bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis adalah salah satu aspek dari `pembelajaran aktif 'yang dalam situasi tertentu menunjukkan sebagai kelas dimana berpikir kritis didorong. Namun, belajar aktif hadir dalam banyak varian, hanya beberapa yang konsisten dengan berpikir kritis.
Guru-guru adalah ahli tentang badan pengetahuan, siswa mencari pengetahuan itu. Jadi, yang berpengetahuan berbicara, yang mencari pengetahuan mendengarkan. Kejelasan dari model ini, seharusnya tidak membingungkan dengan efektifitasnya. Metode ceramah memiliki kekurangan utama, yaitu., mereka gagal untuk memberikan pelajar kesempatan untuk berlatih menggunakan pengetahuan di bawah bimbingan seorang mentor terampil. Dosen, dapat memberikan semacam bimbingan khusus dengan pemodelan berpikir kritis dengan memberikan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran kritis.
Mayer (1986) menyatakan, `Kunci untuk mengembangkan pemikiran kritis terletak pada penciptaan kondisi bagi partisipan bukan kepasif-an, dan memberikan peluang bagi keterlibatan secara emosional dengan materi '(dikutip dalam Garside 1996). Lebih lanjut Mayer mencatat, penonton pasif tidak terlalu rentan terhadap kritik sosial kreatif (1986). Mayer mengamati dengan benar bahwa komponen psikologis yang mendorong kepasifan dalam seorang pelajar mungkin akan menghambat berpikir kritis juga.
Pengembangan bakat untuk evaluasi kritis tergantung pada motivasi peserta didik (Keeley et al., 1995). Belajar aktif bukan hanya tentang instruktur memprovokasi siswa untuk terlibat dengan materi.  Pengalaman siswa belajar aktif memaksa dirinya untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi secara hati-hati argumen dari gurunya dan teman-temannya, dan akhirnya, membangun argumennya sendiri.

Pembangunan Ketegangan
Sebuah kelas dengan berpikir kritis sebagai tujuan utama mendorong perubahan tentang sesuatu; semua disiplin ilmu mengandung open ended questions tentang orang yang tidak setuju tapi masuk akal, kepemilikan pengetahuan digunakan dalam cara yang kontroversial dan melaporkan bukti-bukti yang diperdebatkan.
Segala cara untuk mendorong pemikiran kritis harus meningkatkan keinginan seseorang untuk mengevaluasi perselisihan. Untuk belajar aktif, berpikir kritis memiliki Kelebihan khusus meningkatkan probabilitas bahwa perilaku evaluatif akan terjadi. Satu segi keunggulan komparatif kontroversi menciptakan keadaan tidak nyamanan bagi pembaca. Ketidak nyamanan ini dapat menyebabkan kegelisahan intelektual yang sehat di antara peserta didik yang membawa epistemologi ke ruang kelas dengan melihat tugas mereka sebagai menyerap kebijaksanaan para ahli. Model pembelajaran seperti spons pada akhirnya mengganggu ketika pelajar berhadapan dengan berbagai ahli, setiap jawaban untuk pertanyaan yang sama nampaknya unik dan tampak masuk akal.
Berpikir dimulai hanya ketika ada keraguan tentang apa yang harus dilakukan atau dipercayai; semua pikiran sadar lahir pada ketidakpastian (Baron, 1985). Keraguan memotivasi berpikir terjadi dan kontroversi menghasilkan situasi dimana keraguan muncul secara alami. Rokeah menyimpulkan bahwa proses perubahan nilainya tergantung pada kesadaran peserta didik  tentang kontradiksi, ketegangan dan kebingungan dalam sistem kepercayaan mereka saat ini (Rokeach 1968, hlm 167, 1973, hal 286).
Wawasan Nya adalah satu yang meliputi suasana ruang kelas adalah mendorong
berpikir kritis. 
Perspektif konflik akademik menantang pelajar untuk mendamaikan atau mengevaluasi (Makau, 1985). Dengan merangsang kontroversi secara sengaja, seorang profesor dapat terlibat dalam bentuk tindakan afirmatif intelektual dimana posisi minoritas secara sungguh-sungguh diberikan perlakuan yang adil (Brod, 1986). Siswa lebih bersedia untuk ditantang dan diuji ketika mereka dapat melihat kebiasaan para ahli mempertanyaan formulasi ahli lainnya (Resnick, 1987, hlm 41). Pendapat bahwa ketegangan terkait dengan kontroversi di dalam kelas merupakan strategi efektif untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis menimbulkan masalah serius bagi banyak guru.

Daya Tarik Dengan Kemungkinan Kesimpulan
Mencari berbagai perspektif sebelum membuat komitmen kognitif adalah bijaksana. Sangat mudah untuk berkomitmen argumen tertentu ketika kita hanya mendekati masalah ini dari satu arah. (Gilbert, 1979; Rudinow & Barry, 1994; Damer,1995) menyatakan bahwa argumen dan ide dapat didekati dari banyak sudut pandang.
Berpikir kritis dapat memperluas cakrawala intelektual seseorang jika didekati dengan
`Semangat keterbukaan '(Browne & Kubasek, 1993; Taube, 1997) yang mencakup kesediaan
untuk mempertimbangkan pendekatan baru untuk masalah. Memahami pentingnya berbagai perspektif dan konteks adalah kewajiban bagi pemikir kritis karena mencegah tindakan yang terburu-buru.
Terkontrolnya keragu-raguan diperlukan saat mencari alasan dan bukti yang cukup dalam mendukung ide adalah komponen kunci dari pemikiran kritis (Garside,1996) karena memungkinkan peserta didik untuk menghadapi kemungkinan alternatif tentang makna.
Saat mencari pembuktian klaim, pelajar akan datang dengan bukti yang bertentangan, beberapa di antaranya mungkin lebih kuat dari  bukti yang mendukung kesimpulan aslinya. Dengan cara ini, pendekatan skeptis terhadap argumen menimbulkan pencarian yang berharga untuk berbagai perspektif. Belajar mendekati semua intelektual komitmen dengan skeptis meminta siswa untuk menerima kemungkinan kesimpulan pribadi
dan memungkinkan informasi lebih lanjut untuk membentuk opini mereka secara terus menerus. Browne & Kubasek (1993) mencatat bahwa itu adalah sangat wajar bagi individu untuk memegang teguh kepercayaan pribadi mereka sebagai peta kognitif yang harus dilindungi dari klaim yang bertentangan.


Ulasan
Tulisan ini ditujukan bagi guru, dosen atau pengajar lainnya dimana penulis artikel mengemukakan sejumlah atribut yang membedakan kelas-kelas yang secara reguler mendorong berpikir kritis dengan kelas yang tidak. Tujuan penulis adalah untuk menyediakan dorongan bagi anggota kelompok yang mencoba mempraktekkan lebih banyak kegiatan berpikir kritis di dalam kelas.  Dengan menyebutkan satu persatu dan mendiskusikan karakteristik tertentu dari kelas berpikir kritis, penulis ingin membantu guru-guru dan pengajar lainnya untuk menentukan ciri-ciri tertentu yang membutuhkan peningkatan dalam ketertarikan yang lebih kritis.
Penulis mengemukakan empat fitur berpikir kritis yaitu: sering mengevaluasi pertanyaan(frequent evaluative questions), dorongan belajar aktif (the encouragement of active learning), Pembangunan ketegangan (Developmental of tension) dan daya tarik dengan kemungkinan kesimpulan (facination with the contigency of conclusion).
Dengan berdasar pada teori (Shaw,1996) penulis mengemukakan bahwa berpikir kritis membutuhkan pemahaman dan kunci untuk berpikir kritis adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggali kesimpulan dan alasan sebuah argumen. Saya setuju dengan penulis. Namun, perlu diingat bahwa guru, dosen atau pengajar memegang peranan yang sangat penting dalam hal ini. Guru perlu menciptakan suasana yang memicu siswa untuk lebih dari sekedar bertanya. Misalnya dengan mempertanyakan kembali pertanyaan yang diajukan siswa. Disini dibutuhkan seorang guru yang siap merangsang siswa untuk bertanya. Untuk dapat mewujudkan hal ini dibutuhkan guru atau pengajar yang berpengetahuan yang luas, siap dan dapat mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi, karena dengan memberi kebebasan bagi siswa untuk bertanya dan bereksplorasi mungkin yang dipikirkan dan ditemukan akan berbeda dengan apa yang menjadi pemahaman guru.  Sehingga guru harus terus menerus mengaktualisasikan dirinya, belajar memperluas dan memperdalam pengetahuannya agar dapat menjadi fasilitator bagi siswa-siswinya dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya penulis mengemukakan bahwa untuk berpikir kritis harus adanya peluang keterlibatan secara emosional dengan materi ajar serta adanya motivasi dari diri siswa. Dosen, dapat memberikan semacam bimbingan khusus dengan pemodelan berpikir kritis dengan memberikan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran kritis. Menurut saya untuk mempraktekkan ini, guru atau dosen perlu memahami berbagai metode pembelajaran dengan baik agar dapat menentukan metode mana yang paling baik untuk mencapai tujuan spesifik suatu pembelajaran. Guru diharapkan memberdayakan siswanya dalam proses pembelajaran sehingga siswa benar-benar memperoleh pengalaman belajar melalui metode pembelajaran yang tepat. Diantara berbagai metode pembelajaran, metode ceramah banyak dipergunakan oleh guru dalam berbagai situasi dan tujuan. Metode mengajar seperti ini kurang mengaktifkan siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ada banyak metode pembelajaran yang dapat digunakan belajar aktif. Misalnya dengan diskusi kelompok, bermain peran, audio visual yang penting prosesnya bukan satu arah.
Selanjutnya penulis mengemukakan tentang pengembangan ketegangan. Disini penulis mengemukakan bagaimana kontroversi di dalam kelas merupakan
strategi efektif untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. kontroversi menciptakan keadaan tidak nyamanan. Ketidaknyamanan ini dapat menyebabkan kegelisahan intelektual yang sehat di antara peserta didik. Saya sangat setuju dengan pendapat ini dan kembali saya akan mengemukakan pendapat bahwa metode pembelajaran yang tepat menjadi salah satu kunci keberhasilan keterampilan berpikir kritis. Guru sebaiknya menciptakan diskusi kelas. Guru dapat memulai dengan mengajukan pertanyaan yang dapat menciptakan suasana antisipasi dan inkuiri. Guru juga dapat memulai setiap pembelajaran dengan masalah atau kontroversi.
Atribut yang terakhir yang ditulis oleh penulis adalah daya tarik dengan kemukinan kesimpulan. Disini penulis mengemukakan bahwa pemikir kritis perlu memahami pentingnya berbagai perspektif dan konteks. Saya juga sangat setuju dengan hal ini. Pembelajar sebaiknya tidak terburu-buru menyimpulkan, siswa hendaknya mencoba menemukan landasan atas argumennya, dan fakta-fakta yang mendukung alasan. Sehingga pembelajar dilatih untuk lebih dari sekedar tahu.
Kemudian penulis menyimpulkan bahwa berpikir kritis dapat diajarkan dengan bantuan aktif dari siswa-siswi kita. Untuk hal ini saya tidak sepenuhnya setuju. Saya setuju dalam hal bahwa dalam belajar harus ada kerjasama yaitu adanya kemauan kedua belah pihak yaitu guru dan siswa untuk terlibat dalam pembelajaran, namun kreatifitas seorang guru diperlukan untuk membuat siswa benar-benar terlibat dalam pembelajaran.




Monday, April 29, 2013

Hermeneutik: Metoda untuk memahami keluarga



Hermeneutik: Metoda untuk memahami keluarga

Abstrak

Pengetahuan dan pemahaman akan keluarga tidak dapat kita peroleh dengan sikap berjarak. Bidang ini hanya bisa disentuh dengan pemahaman(verstehen) dan interpretasi (hermeneutik). Hermeneutik, sebuah pendekatan yang diperoleh dari filosofi Heidegger menawarkan kemungkinan-kemungkinan positif untuk memeriksa persamaan arti dan keprihatinan keluarga. Hermeneutik merupakan teori dan praktek pengertian dan pemahaman (verstehen) dalam konteks manusia yang berbeda jenis. Heidegger mengemukakan empat hal yang mempengaruhi pendekatan seseorang dalam memahami keluarga: Bagaimana manusia disituasikan dalam dunianya, dikonstitusikan oleh dunianya, terlibat dalam aktifitas sehari-hari dan bergerak oleh keprihatinan-keprihatinan dalam hidup dari hari ke hari.


Kata Kunci: hermeneutik, metode ilmu, keluarga

Pendahuluan
Keluarga adalah sistem dimana individu saling berhubungan dan saling ketergantungan satu sama lain. Pengetahuan dan pemahaman akan keluarga tidak dapat kita peroleh dengan sikap berjarak. Bidang ini tidak bisa disentuh dengan penjelasan (erklaren) sebagai model metodis dalam ilmu kealaman. Bidang ini hanya bisa disentuh dengan pemahaman (verstehen) dan interpretasi (hermeneutik). Dengan kata lain, ilmu kealaman memerlukan metode erklaren, penjelasan atau eksplanasi, sementara ilmu kemanusiaan memerlukan metode verstehen, pemahaman dan interpretasi (hermeneutik).
Bagi Dilthey, dinamika kehidupan jiwa manusia merupakan susunan kompleks terdiri atas pengetahuan, perasan dan kehendak. Hal ini tidak bisa ditundukkan ke dalam norma-norma kausalitas-mekanistik seperti dalam pola-pola kuantitatif.[1] Heidegger mengemukakan empat hal yang mempengaruhi metode yang seseorang gunakan dalam mempelajari manusia: bagaimana manusia disituasikan dalam dunianya, dikonstitusikan oleh dunianya, terlibat dalam aktifitas sehari-hari dan bergerak oleh keprihatinan-keprihatinan dalam hidup dari hari ke hari. [2]  Dalam hal ini hermeneutik adalah metodenya.
Paper ini akan membahas tentang mengapa hermenetik adalah sebuah metoda dan hermeneutik untuk memahami keluarga. Namun untuk dapat memahaminya, penulis menguraikan secara singkat apa itu hermeneutik, hermeneutik menurut beberapa filsuf dan bahasa sebagai sarana untuk memahami.

Sekilas Hermeneutik
Salah satu arus besar dari filsafat kontinental adalah hermeneutik. Kata hermeneutik atau hermeneutik berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata. Kata kerja itu juga bisa berarti menerjemahkan dan juga bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa hermeneutik merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih terang.[3]
Di dalam mitologi Yunani ada tokoh yang namanya dikaitkan dengan hermeneuin, yaitu Hermes. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manuasia. Pengertian dari mitologi ini kerap kali dapat menjelaskan pengertian hermeneutik teks-teks kitab suci, yaitu menafsikan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci.[4]
Hermeneutik, bersama-sama dengan fenomenologi dan eksistensialisme mengeksplorasi kekayaan dari pengalaman, dengan segala kompleksitasnya. Hermeneutik menunjukkan bahwa pengalaman lebih kaya dari pada yang digambarkan oleh para teoritikus yang mencoba menggambarkannya dengan segala abstraksi dan reduksinya.
Hermeneutik sendiri memberikan sumbangan dalam menggambarkan pengalaman ini dengan mengajukan dua hal: historisitas dan temporalitas. Manusia sebagai makhluk temporal selalu berubah, menyesuaikan diri dengan tantangan yang sedang dihadapinya, memodifikasi tujuannya di masa depan, serta memberi makna baru pada masa lalunya.
Hermeneutik juga memperkenalkan apa yang disebut dengan lingkaran hermeneutik. Lingkaran hermeneutik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam setiap proses interprestasi. Untuk bisa memahami satu bagian dari teks yang diinterpretasi, kita harus memahami teks secara keseluruhan supaya bisa menempatkan bagian teks tersebut ke dalam konteksnya. Namun untuk memahami keseluruhan isi teks tentu saja dibutuhkan pemahaman dari seluruh bagian-bagiannya. [5]
Beberapa pemikir hermeneutik mulai melihat bahwa ilmu-ilmu manusia atau sosial berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu sosial tidak dapat diturunkan metologinya dari ilmu-ilmu alam. Hermeneutik melihat bahwa ilmu-ilmu sosial tidak dapat seperti ilmu alam yang dapat mereduksi gejala-gejala alam menjadi sebuah hukum umum yang dapat menerangkannya (erklären). Ilmu sosial hanya boleh melihat gejala dan mencoba memahaminya (verstehen).
Beberapa pemikir hermeneutik juga percaya bahwa manusia memiliki sifat yang sama sehingga dimungkinkan untuk saling memahami antara manusia yang berbeda era maupun kulturnya. Hermeneutik mengakui pentingnya sejarah dengan menekankan pentingnya akar seseorang pada tradisi sejarahnya. Hermeneutik juga mengakui pentingnya pengetahuan sosial dalam melakukan interpretasi. Kesemuanya ini disebut sebagai sebuah prapemahaman atau horison pemahaman. Tanpa latar belakang ini sulit untuk melakukan sebuah proses interpretasi.
Di dalam perkembangan hermeneutik modern, terdapat dua tradisi hermeneutik. Yang pertama adalah hermeneutik tradisional, yang dimulai dengan mengamati objek interpretasi tertentu seperti teks, hukum, maupun karya seni, dan mencoba memformulasikan hukum-hukum untuk melakukan interpretasi. Yang kedua adalah hermeneutik filosofis, yang dimulai dengan menganalisis apa yang dimaksud dengan pemahaman dan menentukan implikasi dari bermacam-macam cara interpretasi. Kedua tradisi ini bisa dilihat dari beberapa tokoh hermeneutik yang dipaparkan berikut ini. Schleiermacher, Dilthey dan Betti mewakili kelompok yang pertama, Heidegger dan Gadamer mewakili kelompok yang kedua. [6]
Friedrich Ernst Schleiermacher adalah orang yang memulai tradisi hermeneutik modern. Ia sendiri dipengaruhi oleh dua pemikir pendahulunya yaitu Friedrich Ast dan Friedrich August Wolf. Bagi Schleiermacher, tujuan utama dari interpretasi adalah apa yang ada di belakang motivasi penulis untuk menuliskan teks tersebut. Yang dicari adalah apa ide di belakang yang mengorganisasi seluruh isi teks.
Wilhelm Dilthey membedakan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu manusia. Ia mengatakan bahwa untuk mendalami ilmu manusia diperlukan cara yang berbeda dengan metode yang dikembangkan ilmu-ilmu alam. Cara tersebut ia sebut dengan “memahami”, yang dikontraskan dengan “menjelaskan
Martin Heidegger mengubah hermeneutik tradisional menjadi sebuah filsafat, sebuah hermeneutik ontologis. Interpretasi bagi Heidegger adalah salah satu dari cara mengada manusia (yang lain adalah mood dan diskursus).
Menurut Heidegger memahami adalah bagaimana manusia mengalami sebuah situasi dan bagaimana ia siap untuk menghadapi situasi tersebut. Semakin seseorang bisa menghadapi sebuah situasi, semakin ia “memahami” situasi tersebut, semakin ia mampu bertindak, dan ia semakin bereksistensi. Interpretasi adalah salah satu cara untuk mengartikulasikan pemahaman ini.
Heidegger juga memperkenalkan lingkaran hermeneutik yang baru: sebuah pertanyaan selalu dibentuk oleh ekspektasi sebelumnya yang akan menentukan jawaban yang metode yang akan didapatkan. Hal ini seperti halnya pada lingkaran hermeneutik tradisional terlihat seperti sebuah paradoks. Namun Heidegger tidak menutup kemungkinan untuk melakukan interpretasi. Yang dibutuhkan adalah dialog antara teks dan sang penafsir sehingga teks semakin membuka dirinya untuk ditafsirkan.
Hans Georg Gadamer yang adalah murid dari Heidegger meneruskan tradisi hermeneutik ontologis yang telah dimulai oleh Heidegger. Menurut Gadamer, teks dan penafsir memiliki otoritas yang sama atas interpretasi, tidak satu pun bisa mendominasi yang lain. Ia ingin penafsir tetap terbuka terhadap teks. Ketika sang penafsir tidak memaksakan keinginan mereka untuk mendapatkan tafsir yang objektif ia dapat mengalami teks secara lebih penuh. Diubah oleh teks adalah tujuan dari seorang penafsir yang sejati.[7]
Proses penafsiran adalah fusi horizon dari kedua eleman ini, penafsir dan teks yang akan ditafsirkan. Keduanya bergantian saling menginterogasi. Gadamer melihat ini sebagai sebuah proses tanpa akhir, yang ada hanya pengertian baru yang diperoleh. Di dalam teori Gadamer, dialog dipakai di dalam seluruh proses interpretasi. Di dalam dialog inilah selubung makna menjadi terbuka. Gadamer melihat bahwa hukum-hukum interpretasi yang kaku akan menghilangkan dialog ini.
Emilio Betti mengkritik pendekatan Gadamer dan ingin kembali kepada tradisi yang telah dibangun oleh Schleiermacher. Kritik Betti adalah Gadamer telah mengabaikan perbedaan antara teks dengan signifikansi dari teks bagi penafsir. Kritik Betti yang kedua adalah pendekatan Gadamer tidak mengijinkan teks untuk berbeda dengan kepercayaan sang penafsir, karena ia menekankan pada integrasi antara penafsir dan teks. Baginya Gadamer dengan demikian memaksakan posisi sang penafsir kepada teks. Teks baginya harus tetap terpisah dari sang penafsir, supaya tafsir tetap dapat objektif.
Betti juga melihat faktor historis dan kontekstual perlu dipisahkan satu sama lain. Faktor kontekstual bisa mengkondisikan makna historis, namun ia bisa jadi tidak relevan. Sebuah interpretasi historis hendaknya menemukan makna pada konteks dirinya sendiri, lepas dari makna kontekstual.
Betti sepakat dengan Gadamer bahwa sang penafsir harus bersikap terbuka terhadap teks, namun ia tetap bersikukuh bahwa penafsir mesti mengalaminya dari teks itu sendiri, bukan mengalami fantasi yang direkonstruksi diri sendiri. Betti sebenarnya ingin mengintegrasikan pemikiran Gadamer dengan Dilthey, dengan mempertahankan subjektivisme Gadamer dan objektivisme Dilthey.[8]
Hermeneutik telah menawarkan sebuah pendekatan dalam memahami karya-karya manusia. Di dalam prakteknya, hermeneutik adalah sesuatu yang memang rumit dan terus berkembang.

Bahasa sebagai sarana untuk memahami hermeneutik
Pada hakikatnya bahasa mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, sebagai sarana komunikasi antarmanusia dan kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.[9]
Filsafat hermeneutik menguak seluruh realitas bahasa sebagai ungkapan hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan menjadikan bahasa sebagai pusat berawal dan berakhirnya segala persoalan manusia, melalui analisis bahasa dapat dijelaskan berbagai persoalan konseptual yang terkandung dalam teks.[10]
Ketika sebuah teks dibaca seseorang, disadari atau tidak akan memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak yang memungkinkan terciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi.[11] Dengan demikian, bahasa merupakan sarana yang sangat penting bagi terjadinya dialog.
Sebagai metoda tafsir, hermeneutik menjadikan bahasa sebagai tema sentral, kendati di kalangan para fisuf hermeneutik sendiri terdapat perbedaan dalam memandang hakikat dan fungsi bahasa.


Hermeneutik sebagai Metoda
Pada awalnya metode hermeneutik digunakan untuk menafsirkan kitab suci saja, namun semenjak Dilthey (1833-1911) metode ini mulai dipergunakan untuk ilmu-ilmu kemanusiaan seperti bidang sejarah, psikologi, hukum, sastra, seni dan sebagainya.
Dilthey berambisi untuk menyusun sebuah dasar epistemologis bagi ilmu kemanusiaan, terutama ilmu sejarah. Tantangan yang dihadapi Dilthey adalah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah supaya sejajar dengan penelitian ilmiah dalam bidang ilmu alam. Perbedaan objek kedua ilmu ini cukup mencolok. Bila ilmu kemanusiaan mengenal dua dimensi eksterior dan interior bagi objeknya, maka ilmu alam hanya mengenal dimensi eksterior. [12]
Dilthey manganjurkan penggunaan hermeneutik, sebab baginya, hermeneutik adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, diperlukan bentuk pemahaman yang khusus. Hermeneutiknya Dilthey berkisar pada tiga unsur yaitu Verstehen (memahami), erlebnis (dunia pengalaman batin) dan Ausdruck (ekspresi hidup). Ketiga unsur ini saling bekaitan dan saling mengandalkan.[13]
Ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah, tidak akan memperoleh pengetahuan yang dicari tanpa mempergunakan verstehen atau pemahaman yang membedakannya dari ilmu alam manusia sebagai objek pengertian dalam ilmu kemanusiaan memiliki kesadaran, dan ini memungkinkan bagi penyelidikan tentang alasan-alasan tersembunyi dibalik perbuatannya yang dapat diamati. Kita dapat memahami perbuatan dengan mengungkap pikiran, perasaan dan keinginannya. Ilmu kemanusian tidak hanya mampu mengetahui apa yang telah diperbuat manusia tetapi juga pengalaman batin (erlebnis), pikiran, ingatan, keputusan nilai dan tujuan yang mendorongnya berbuat.[14]
Peneliti ilmu kemanusiaan harus berusaha seperti hidup dalam objeknya, atau membuat objek hidup dalam dirinya. Dengan penghayatan tersebut akan memudahkan munculnya verstehen atau pemahaman.[15]
Verstehen atau memahami adalah kegiatan memecahkan arti tanda-tanda ekspresi yang merupakan manifestasi hidup atau hasil kegiatan jiwa. Verstehen adalah proses dimana kehidupan mental diketahui melalui ekspresinya yang ditangkap oleh panca indera. Walaupun demikian ekspresi tersebut lebih dari sekedar kenyataan fisik, karena ia dihasilkan oleh kegiatan jiwa.[16]
Jadi, tujuan dari metode hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri. Sebagai sebuah metode tafsir, hermeneutik harus berusaha menyelami kandungan makna di dalam teks sehingga diperlukan partisipasi dan keterbukaan. Dalam menggali makna, horison-horison yang melingkupi teks harus dipertimbangkan yaitu horison teks, pengarang dan pembaca. Dengan demikian upaya pemahaman akan menjadi kegiatan rekonstruksi.

Hermeneutik untuk memahami keluarga
Dalam mempelajari keluarga, persoalan-persoalan dan keprihatinan yang dibagi oleh anggota keluarga atau proses-proses yang terjadi antara anggota keluarga harus dimengerti. Mempelajari keluarga, lebih dari sekedar mempelajari ikatan antar individu. Ketertarikan dalam mempelajari apa yang sedang terjadi antar anggota keluarga membutuhkan ontologi yang mengenali apa yang disebut sebagai intersubjective yang mungkin lebih tepat disebut berbagi atau persamaan pengertian.
Keanggotaan dalam keluarga hanya dapat diputuskan oleh setiap anggota dalam keluarga tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi keluarga adalah kebudayaan, ras, peranan jenis kelamin, keagamaan dan geografic regionalisme.
Hermeneutik, sebuah pendekatan yang diperoleh dari filosofi Heidegger menawarkan kemungkinan-kemungkinan positif untuk memeriksa persamaan arti dan keprihatinan keluarga. Hermeneutik merupakan teori dan praktek pengertian dan pemahaman (verstehen) dalam konteks manusia yang berbeda jenis. Evolusi dari hermeneutik sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari keprihatinan dan kebiasaan manusia telah dibentuk oleh banyak filsuf termasuk Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer dan Ricoeur.[17]
Heidegger mengemukakan empat hal yang mempengaruhi pendekatan seseorang dalam memahami keluarga: Bagaimana manusia disituasikan dalam dunianya, dikonstitusikan oleh dunianya, terlibat dalam aktifitas sehari-hari dan bergerak oleh keprihatinan-keprihatinan dalam hidup dari hari ke hari.
Menurut Heidegger, manusia hidup disituasikan dalam aktifitas, hubungan, commitment dan keterlibatan yang berarti yang membentuk kemungkinan-kemungkinan dan paksaan-paksaan untuk hidup. Manusia disituasikan dalam dunianya dengan cara dibesarkan dan hidup dalam pemahaman yang rumit tentang dunia dan sebagai manusia dan beraksi di dunia yang ada dalam waktu tertentu dalam sejarah, kebudayaan dan dalam keluarga dimana mereka menemukan diri mereka. [18]
Disituasikan berarti kita telah memahami siapa kita. Pengertian ini bukan kognitive tetapi hidup. Pengertian tentang siapa kita secara berbeda ditrasmisikan dalam kebiasaan dan praktek sehari-hari tentang hal disekitar kita. Aspek pemahaman ini adalah umum untuk semua manusia, aspek lain adalah kebudayaan atau regional secara spesifik yang bahkan sangat spesifik untuk keluarga tertentu. Persamaan pengertian adalah dasar kita memahami satu dengan yang lainnya dalam kehidupan sehari-hari.[19]
Disituasikan berarti disituasikan di suatu zaman tertentu. Misalnya, saya yang dibesarkan di tahun 80-an tidak akan mengalami situasi seperti di zaman orang tua saya dibesarkan di tahun 40-an. Tekanan yang saya terima lebih kepada tekanan dari kecemasan orang tua akan tindak kriminal yang mungkin mengancam saya dan bukan ancaman perang. Disituasikan berarti memahami arti dan kebiasaan dunia dimana seseorang disituasikan.
Arti dan kebiasaan kebudayaan mengkonstitusikan keluarga dan anggota keluarga. Kebudayaan merupakan kumpulan aturan untuk berperilaku. Esensi kebudayaan adalah dalam aturan-aturan yang menghasilkan perilaku-perilaku bukan perilaku-perilaku itu sendiri. Sehingga, kebudayaan merupakan pengaruh pada perilaku tetapi perilaku sendiri bukan kebudayaan. Perilaku secara umum dipengaruhi oleh kebudayaan termasuk tipe pakaian dan rasa makanan.
Keluarga dikonstitusikan dalam kebudayaan yang ada di suatu waktu bukan sebagai kumpulan sifat atau bakat yang bebas dipilih, diubah atau ditrasformasikan. Dikonstitusikan berarti bahwa bagaimana kita memahami dunia dan kebiasaannya ke tempat kita berada membentuk siapa kita dan bagaimana kita memahami kita sendiri dan kemungkinan-kemungkitan yang kita miliki. Pembentukan tadi tidak secara keseluruhan menentukan siapa kita tetapi menempatkan paksaan tertentu pada bagaimana cara kita bertindak. Kita tidak secara radikal bebas untuk menjadi apa saja yang kita pilih. Misalnya, seseorang yang dibesarkan dalam keluarga katolik, membuat orang tersebut mengerti tempatnya dalam keluarga, hubungannya dengan agama dan akan sangat berbeda dengan orang lain yang dibesarkan dalam agama yang lain. Pada saat dewasa, orang tersebut punya kemungkinan untuk menjadi seorang yang aktif sebagai praktisi katolik.[20] Memahami bahwa keluarga dikonstitusikan dan mengkonstitusikan kebudayaan mereka dan anggota keluarga secara dramatis mengubah bagaimana kita memandang (a) intervensi dengan keluarga (b) dasar pengetahuan yang harus kita bangun untuk menyusun intervensi yang berarti di tingkat keluarga. Jika kita memahami bahwa manusia dapat diubah tapi tidak sedemikan radikal, maka keluarga dan sejarah kebudayaannya semakin penting karena mereka dikenal terdiri dari pribadi dalam keluarga dan cara dasar keluarga yang ada.[21]
Dikonstitusikan berarti setiap individu mempelajari kebudayaannya melalui kebiasaan hidup sehari-hari dimana dia dibesarkan. Hal ini akan mempengaruhi pola hidup, cara pandang dan cara bertindak seseorang dimasa depan.
Manusia terlibat dalam aktifitas sehari-hari. Pandangan ketiga dari Heidegger adalah cara dasar manusia hidup di dunia adalah terlibat dalam praktek aktivitas-aktivitas. Terlibat penuh dalam kegiatan sehari-hari dan tidak merefleksikan keterlibatan digambarkan sebagai keberadaan ready-to-hand mode atau siap mengulurkan tangan.[22]
Terlibat dalam praktek aktifitas adalah cara halus seseorang untuk bergerak sepanjang hari, memasak sarapan, memakaikan pakaian anak-anak, menyetir ke tempat kerja, semuanya tanpa pertimbangan atau refleksi tentang tindakan-tindakan ini. Cara kedua bahwa manusia terlibat dalam situasi dan aktifitas sehari-hari adalah saat berdiri mundur dan berpikir tentang aktifitas sehari-hari, ini hal yang abstrak, merefleksikan keterlibatan. Sebagai contoh duduk dan merefleksikan peran sebagai orang tua setelah anak-anak tidur. Contoh lain bentuk keterlibatan adalah saat orang tua menemukan sepatu anaknya yang kotor dan basah. Segera, memikirkan kemungkinan, memutuskan alternatifnya dan memakaikannya pada anak.[23]
Observasi dan diskusi dengan keluarga tentang aksi memungkinkan pemahaman secara penuh tentang kebiasaan siap mengulurkan tangan dalam keluarga. Anggota keluarga berada dalam situasi bertindak atas keprihatinan-keprihatinannya dan pada saat yang sama menyediakan situasi untuk mengkomentari aksi tersebut. Observasi penting bagi peneliti untuk memahami penuh kebiasaan pemahaman sendiri dalam keluarga yang hidup tapi tidak secara sadar atau diartikulasi. Aksi narative merupakan pendekatan kedua untuk mengakses aktifitas keterlibatan. Narrative tentang situasi yang terjadi dalam kehidupan keluarga termasuk konteks dan episode sejarah, bagaimana situasi dipersembahkan dan berkembang seiring waktu, keprihatinan dan aksi keluarga sepanjang episode dan pemikiran masa lalu tentang situasi. Bentuk narrative mengekspresikan kecocokan struktur kehidupan sehari-hari dan dengan demikian merupakan sebuah kendaraan yang bagus bagi ekspresi keterlibatan sehari-hari.[24]
Jika cara dasar keluarga ada di dunia adalah dengan terlibat dalam aktifitas kebiasaan sehari-hari, maka metode untuk mempelajari keluarga harus mencoba mengakses struktur keterlibatan tersebut. Dua pendekatan untuk memahami aktifitas siap mengulurkan tangan adalah observasi yang hati-hati terfokus pada fenomena ketertarikan dalam keterlibatan keluarga dalam aktifitas yang berarti dan interview narrative yang terperinci dimana keluarga atau anggota keluarga menggambarkan pengalaman konkrit yang spesifik yang telah terjadi dalam keluarga.[25]Sehingga untuk memahami keluarga diperlukan tingkat intelegensi yang tinggi, keterlibatan emosi dan keterlibatan kebiasaan dengan keluarga yang dipelajari
Asumsi terakhir adalah cara bahwa manusia terlibat di dunianya dibentuk dan diikat oleh apa yang menjadi masalah bagi mereka. Keprihatinan atau masalah membentuk bagaimana kita memasuki sebuah situasi, apa yang kita lihat dan tidak, dan bagaimana kita bertindak.[26] Misalnya, seorang orang tua yang prihatin terutama dengan kebersihan yang berlawanan dengan kreativitas mungkin akan merespon tidak senang daripada senang ketika melihat anaknya aktif mewarnai dengan jari-jarinya. seringkali, keprihatinan tidak dapat diekspresikan secara langsung karena tidak disadari dan ditunjukkan dalam aksi dan respon dari individu dan keluarga dalam situasi yang mereka gambarkan. Keprihatinan muncul sangat jelas dalam tindakan-tindakan yang diambil oleh individu atau keluarga dalam situasi tertentu. Keprihatinan dapat dijelaskan dengan detail hanya sebagian oleh kebanyakan narator setelah mereka merefleksikan pada pengalaman mereka. Sehingga anggota keluarga diminta untuk menggambarkan keprihatinan yang paling penting disituasi yang mereka persembahkan dalam narative  dan saat mereka diobservasi.[27]
Memahami keprihatinan individu dan keluarga adalah penting demi kepentingan tindakan keluarga. Untuk mengakses masalah keluarga kita harus memasuki konteks kehidupan keluarga sehari-hari.
Dengan demikian, untuk memahami keluarga, peneliti harus membiasakan diri dengan proses-proses psikis yang memungkinkan suatu makna. Kemudian, peneliti harus mempunyai pengetahuan tentang konteks. Untuk mengerti suatu kata hanya bisa dimengerti dalam konteks yang lebih luas, begitu juga dengan tindakan manusia hanya bisa dipahami melalui konteks yang lebih luas.



Kesimpulan

Pemahaman akan keluarga tidak dapat kita peroleh dengan sikap mengambil jarak.  ini hanya bisa disentuh dengan pemahaman (verstehen) dan interpretasi (hermeneutik).
Menurut Heidegger ada empat hal yang mempengaruhi metode yang seseorang gunakan dalam mempelajari manusia: bagaimana manusia disituasikan dalam dunianya, dikonstitusikan oleh dunianya, terlibat dalam aktifitas sehari-hari dan bergerak oleh keprihatinan-keprihatinan dalam hidup dari hari ke hari.[28] Heidegger menawarkan tentang bagaimana anggota keluarga dapat mempunyai arti dan kebiasaan yang dibagikan. Kesan tentang berbagi dunia memungkinkan sebuah keluarga sebagai sebuah unit yang berarti. Hermeneutik menyediakan cara pendekatan untuk memahami fenomena keluarga yaitu sentral kebiasaan kita dengan keluarga.