Thursday, September 6, 2012

Keterampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking skill)

John Dewey dalam Fisher (2007: 2) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan ‘berpikir reflektif’ dan mendefinisikannya sebagai:
Pertimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
Kemudian, Glaser dalam Fisher (2007:3) mendefinisikan kriteria berpikir kritis sebagai:
(1)   Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Sedangkan Scriven dalam Fisher (2007) berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan pemahaman dan evaluasi yang terampil pada observasi, komunikasi, informasi dan argumentasi. Lebih lanjut Paul and Elder (2005) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses menganalisa dan menilai berpikir dengan pandangan untuk meningkatkannya, merupakan standar intelektual paling dasar untuk berpikir dimana sisi kreatifnya adalah pembangunan berpikir sebagai hasil dari menganalisa dan menilai secara efektif. Kemudian, Ennis(1985) dalam Kuswana (2011) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir wajar dan reflektif yang fokus dalam menentukan apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah proses berpikir mendalam tentang suatu informasi melalui kegiatan penyelidikan, explorasi, eksperimen dan lain-lain untuk memperoleh kesimpulan yang akurat agar terjadi pengkonstruksian pengetahuan secara bermakna.
            Berpikir kritis bertujuan untuk membuat siswa mampu mentransfer prinsip-prinsip abstrak dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya siswa yang dapat berpikir kritis akan mampu mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan, menghasilkan kesimpulan dan pemecahan masalah dengan alasan yang baik (Paul & Elder, 2005). Lebih lanjut (Paul & Elder) mengemukakan bahwa berpikir kritis diperlukan agar siswa mampu membuat keputusan yang rasional dan bertanggung jawab, mampu menyelesaikan masalah, kritis dalam berpikir dan memiliki kreatifitas tinggi sehingga dengan melatih keterampilan berpikir kritis, siswa tidak hanya akan menguasai kontent yang diajarkan, tetapi menjadi warga negara yang berkualitas yang mampu menalar secara efektif dan bertindak untuk kepentingan publik.
Keterampilan berpikir kritis tidak terjadi begitu saja. Keterampilan ini  hendaknya dilatih setiap saat dan di mana saja Kuswana (2011). Artinya keterampilan berpikir kritis hendaknya diintegrasikan di setiap mata pelajaran dalam proses belajar mengajar. Namun kenyataan yang ada, keterampilan ini sering sekali diabaikan dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran guru terkadang memandang kurikulum sebagai objek penerapan materi saja. Dengan berfokus pada peng-cover-an konten saja, sehingga siswa dijadikan objek pasif dalam proses pembelajaran.  Hal ini membuat keterampilan berpikir kritis tidak berkembang. Keterampilan berpikir kritis dapat dilakukan dengan mencari tahu apa yang harus dipercaya atau apa yang harus dilakukan dan melakukannya dengan cara yang wajar dan reflektif Kuswana (2011). Untuk melakukannya di dalam kelas, diperlukan kerjasama yaitu berupa kemauan kedua belah pihak baik guru maupun siswa yang  terlibat dalam proses pembelajaran. Artinya keterlibatan siswa dalam proses belajar merupakan kunci utama dalam mencapai tujuan belajar.
Menurut Paul and Elder (2005) keterampilan berpikir kritis terdiri dari 25 standard yaitu: standar 1: mengenali makna, tujuan dan sasaran, standard2: pertanyaan, masalah dan masalah besar, standar 3:  informasi, data, bukti dan pengalaman, standar 4 : dugaan dan penafsiran, standar 5: asumsi dan perkiraan, standar 6: konsep, teori, prinsip, definisi, hokum dan aksioma, standar 7: implikasi dan konsekuensi, standar 8 : pandangan dan kerangka acuan, standar 9 : menilai pemikiran, standar 10 : berpikiran adil, standar 11: berpikiran rendah hati, standar 12: berpikiran berani, standar 13: berpikiran empati, standar 14 : berpikiran integritas, standar 15: berpikiran tidak gampang menyerah, standar 16: yakin dalam beralasan, standar 17 : berpikir otonomi, standar 18 : tidak berwawasan egosentris, standar 19 : tidak berwawasan sosiosentris, standar 20 : terampil dalam seni belajar ( self-directed, self-monitored), standar 21 : terampil dalam seni bertanya, standar 22 : terampil dalam seni membaca, standar 23 : terampil dalam menulis, standar 24 : kemampuan mengidentifikasi dan memberi alasan tentang masalah yang berhubungan dengan etik, standar 25 : terampil dalam mengenali media bias dan propaganda. Masing-masing standar terdiri dari beberapa indikator.
Beberapa indikator dari beberapa standar yang dikemukakan Paul and Elder tersebut adalah sebagai berikut: standar 1,  yaitu siswa dapat mengenali makna, tujuan dan sasaran dengan dua indikator yaitu siswa mampu menjelaskan dalam bahasa sendiri tujuan pembelajaran, siswa mampu memilih tujuan yang masuk akal dalam bekerja untuk mencapai tujuan akhir. Standar 2, yaitu siswa mencari tahu pemahaman yang jelas tentang pertanyaan yang mereka sedang jawab dan masalah yang sedang diselesaikan dengan dua indikator yaitu siswa dapat dengan jelas dan tepat  mengungkapkan sendiri  pertanyaan yang sesuai dengan masalah, siswa mengelompokkan pertanyaan yang relevant dan  yang tidak. Standar 3, yaitu siswa mencari informasi yang relevan untuk menjawab pertanyaan atau masalah dengan empat indikator yaitu siswa dapat dengan jelas dan tepat mengemukakan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri , siswa dapat dengan jelas menyebutkan bukti  untuk sebuah pandangan, siswa mampu menggunakan hanya informasi yang relevant dan mengabaikan informasi yang tidak relevan, siswa  menunjukkan kemampuan untuk menilai informasi. Standar 6, yaitu siswa mencari pemahaman yang jelas tentang konsep dan ide yang membentuk alasan mereka dan orang lain dengan dua indikator yaitu siswa mampu menunjukkan pemahaman teori dan konsep (mereka dapat menyebutkan, mengelaborasi dan memberikan contoh), siswa menggunakan bahasa dengan baik & tepat.  Standar 7, yaitu siswa memahami implikasi dan konsekuensi dengan satu indikator yaitu siswa mempertimbangkan dampak positif dan negatif. Sementara Ennis (1985) mengemukakan indikator berpikir kritis adalah memfokuskan pertanyaan, menganalisis argument, bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang, menyesuaikan dengan sumber, mengobservasi dan mempertimbangkan, membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan. Kemudian, Fisher (2007) mengemukakan indikator berpikir kritis adalah mengidentifikasi alasan dan kesimpulan, memahami penalaran, mengklarifikasi dan menginterpretasi pernyataan dan gagasan, akseptibilitas alasan, menilai kredibilitas sumber dengan terampil, mengevaluasi inverensi. Lebih lanjut Glaser dalam Fisher (2007) mengemukakan bahwa indikator berpikir kritis meliputi: mengenal masalah, menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menagani masalah-masalah itu, menentukan dan menyusun informasi yang diperlukan, mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas dan has, menganalisis data, menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas dan membuat penilain yang tepat tentang hal-hal dan kuantitas-kuantitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian beberapa ahli di atas dapatlah diketahui bahwa para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang indikator keterampilan berpikir kritis. Namun demikian, ada beberapa persamaan indikator dari indikator-indikator yang telah dikemukakan. Matriks persamaan indikator dari beberapa ahli di atas adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Persamaan Indikator Keterampilan Berpikir Kritis
Paul & Elder
Ennis
Fisher
Glaser
Memahami dengan jelas pertanyaan yang sedang dijawab: siswa dapat dengan jelas mengungkapkan sendiri pertanyaan yang sesuai dengan masalah; mengelompokkan pertanyaan yang relevan dan yang tidak.
Bertanya, memfokuskan pertanyaan
Mengklarifikasi pertanyaan

Mencari informasi yang relevan: mengemukakan informasi dengan kata-kata sendiri, menyebutkan bukti untuk sebuah pandangan, menggunakan hanya informasi yang relevan, menilai informasi.
Menyesuaikan dengan sumber, mengobservasi dan mempertimbangkan.
Mengklarifikasi pernyataan, menilai kredibilitas sumber  dengan terampil.
Menentukan dan menyusun informasi yang diperlukan, menilai fakta.
Mencari pemahaman yang jelas tentang konsep dan ide: menunjukkan pemahaman teori dan konsep (mereka dapat menyebutkan, mengelaborasi dan memberikan contoh), siswa menggunakan bahasa dengan baik dan tepat.
Membuat deduksi dan memperitimbangkan hasil deduksi; membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
Memahami penalaran
Mengevaluasi pernyataan-pernyataan, menarik kesimpulan-kesimpulan
Memahami implikasi dan konsekuensi
Mempertimbangkan hasil keputusan




Penguasaan Konsep (Concept Mastery)

Konsep adalah suatu satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama Winkel (1991). Sementara Dahar (1989) mendefinisikan konsep sebagai batu-batu landasan berpikir, yang diperoleh melalui fakta-fakta dan dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Wollfold & Nicolish (2004) dalam Juliana (2009) mendefinisikan konsep sebagai kategori yang digunakan untuk mengelompokkan peristiwa, ide, atau obyek yang serupa atau merupakan abstraksi, kreasi pikiran untuk mengorganisasi pengalaman
Adapun yang dimaksud dengan penguasaan konsep menurut Winkel (1991) adalah pemahaman dengan menggunakan konsep, kaidah dan prinsip. Dahar (2003) mendefinisikan penguasaan konsep sebagai kemampuan siswa dalam memahami makna secara ilmiah baik teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan definisi penguasaan konsep yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Bloom (dalam Rustaman et al., 2005) yaitu kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengaplikasikannya. Lebih lanjut, Wollfold & Nicolish (2004) dalam Juliana (2009) mengemukakan bahwa penguasaan konsep adalah kemampuan siswa yang bukan hanya sekedar memahami, tetapi juga dapat menerapkan konsep yang diberikan dalam memecahkan suatu permasalahan, bahkan untuk memahami konsep yang baru. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penguasaan konsep adalah kemampuan siswa dalam memahami makna pembelajaran dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran, penguasaan konsep sangatlah penting. Dengan penguasaan konsep menurut Winkel (1991) dan Anderson dalam Rustaman (2005) siswa dapat meningkatkan kemahiran intelektualnya dan membantu dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya serta menimbulkan pembelajaran bermakna.
Menurut Winkel (1991) penguasaan konsep dapat diperoleh melalui: benda-benda, gambar-gambar dan penjelasan verbal serta menuntut kemampuan untuk menemukan ciri-ciri yang sama pada sejumlah obyek. Penguasaan konsep diperoleh dari proses belajar. Ausubel (Dahar, 1989) mengemukakan bahwa konsep dapat diperoleh melalui formasi konsep (concept formation) dan asimilasi konsep (concept assimilation). Formasi konsep erat kaitannya dengan perolehan pengetahuan melalui proses induktif. Dalam proses induktif anak dilibatkan belajar penemuan (discovery learning). Belajar melalui penemuan akan membuat apa yang dipelajari siswa bertahan lebih lama dibandingkan dengan belajar cara hafalan. Sedangkan perolehan konsep melalui asimilasi erat kaitannya dengan proses deduktif. Dalam proses deduktif, siswa memperoleh konsep dengan cara menghubungkan atribut konsep yang sudah dimilikinya dengan gagasan yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitifnya.
Indikator penguasaan konsep menurut Sumaya(2004) yaitu seseorang dapat dikatakan menguasai konsep jika orang tersebut benar-benar memahami konsep yang dipelajarinya sehingga mampu menjelaskan dengan menggunakan kata-kata sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, tetapi tidak mengubah makna yang ada di dalamnya. Sedangkan, Winkel (1991) mengatakan adanya skema konseptual yaitu suatu keseluruhan kognitif, yang mencakup semua ciri khas yang terkandung dalam suatu pengertian. Indikator yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Bloom dalam (Rustaman et al., 2005) sebagai berikut: Mengingat (C1) yakni kemampuan menarik kembali informasi yang tersimpan; Memahami (C2) yakni kemampuan mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki; Mengaplikasikan (C3) yakni kemampuan menggunakan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas; Menganalisis (C4) yakni kemampuan menguraikan suatu permasalahan atau objek ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana keterkaitan antar unsur-unsur tersebut; Mengevaluasi (C5) yakni kemampuan membuat suatu pertimbangan berdasarkan criteria dan standar yang ada serta; Membuat (C6) yakni kemampuan menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan.

Problem-based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)

Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL merupakan salah satu metode yang banyak digunakan (Amir, 2009).  Beberapa teori PBL mengatakan sebagai berikut : PBL merupakan pendekatan berpusat pada siswa dan pembelajaran aktif progresif dimana masalah yang tidak terstruktur digunakan sebagai titik awal dan pengait dalam proses pembelajaran (Tan, 2004). Savin-Badin (2004) mendefinisikan PBL sebagai suatu pendekatan yang terdiri dari beberapa aspek yaitu self-directed and life-long learning, dengan problem solving dan keterampilan berpikir kritis dikembangkan dengan difasilitasinya kelompok pembelajar. Barak, 2006 (dalam Tan, 2009) mendefinisikan PBL sebagai alternatif pendekatan yang lebih progresif dalam pembelajaran dan salah satu yang didasarkan pada kesempatan untuk melatih kreativitas dan pengembangannya.
Definisi-definisi lain PBL yang cukup mewakili, seperti yang diungkapkan oleh: Prof. Howard Barrows dan Kelson ( dalam Amir, 2009: 21) yaitu bahwa PBL merupakan kurikulum dan pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan sehari-hari. Kemudian Dutch,1994 ( dalam Amir, 2009 :21) menyatakan bahwa PBL merupakan metode instruksional yang menantang mahasiswa agar “belajar untuk belajar,” bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. PBL mempersiapkan mahasiswa untuk berpikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Kemudian, Amir (2009:12) mengemukakan bahwa PBL adalah suatu metode untuk menunjang pendekatan learner centre dan memberdayakan pembelajar. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa PBL adalah pendekatan pembelajaran yang memfasilitasi terjadinya learner centre dengan menggunakan masalah sebagai pemicu rasa ingin tahu siswa.
Salah satu manfaat PBL menurut Amir (2009) adalah memberdayakan pembelajar. Hal yang ingin dicapai dalam pemberdayaan pembelajar adalah siswa memperoleh pengetahuan yang relevan (knowledge), siswa berpikir untuk dapat memahami (thinking), siswa melakukan (doing) serta perubahan perilaku dan cara pikir atas sesuatu. Dengan demikian pembelajar bukan lagi penerima pasif atas pemikiran-pemikiran pendidiknya namun harus dapat memastikan bahwa mereka dapat melihat dengan jelas pemikirannya (Amir, 2009).
Manfaat lain dari PBL menurut Amir (2009) adalah merangsang rasa ingin tahu, keinginan untuk mengamati, motivasi serta keterlibatan seseorang atas satu hal. Norman and Schmidt (1992) dalam Tan (2004) mengemukakan bahwa PBL meningkatkan pemindahan konsep ke masalah baru, pengintegrasian konsep, ketertarikan dalam belajar, dan belajar keterampilan-keterampilan. Pendapat tersebut didukung oleh (Albanese and Mitchell (1993) dalam Tan, 2004) yang mengemukakan bahwa PBL membantu siswa dalam membangun pengetahuan dan keterampilan penalaran. Sedangkan menurut Lynda wee (2002) dalam Amir (2009) mengatakan manfaat PBL adalah untuk menunjang pembangunan kecakapan mengatur diri sendiri (self-directed), kolaboratif, berpikir secara metakognitif, cakap menggali informasi, yang semuanya relatif diperlukan  dalam dunia kerja. Pendapat senada dikemukakan oleh Donald woods (2000) dalam Amir (2009) yang mengemukakan bahwa PBL membantu pembelajar membangun kecakapan sepanjang hidupnya dalam memecahkan masalah, kerja sama tim dan komunikasi. Hal tersebut selaras dengan pendapat Tan (2004) yang mengemukakan bahwa dibandingkan dengan metode konvensional, PBL membantu siswa dalam pembentukan pengetahuan dan keterampilan berargumen (reasoning skills). Lebih lanjut Duch, Groh, and Allen (2001 dalam Savery, 2006) mengemukakan bahwa metode yang digunakan dalam PBL dapat mengembangkan keterampilan khusus, termasuk keterampilan berpikir kritis.  
Menurut Tan(2004) hal tersebut dimungkinkan terjadi karena siswa diberikan kesempatan untuk memperoleh keterampilan yang berhubungan dengan informasi dalam ruang lingkup masalah dan belajar strategi umum pemecahan masalah. Dutch,1994 (dalam Amir, 2009) menyatakan bahwa ketertarikan pada masalah akan menjadi awal untuk mengembangkan aktifitas belajar yang lebih menarik. Selain itu, dapat menyediakan lebih banyak pilihan dan memberikan tantangan dalam proses berpikir siswa. Melalui diskusi dalam kelompok kecil seperti dalam proses pembelajaran PBL, siswa akan memperoleh pemahaman dari interaksi dengan masalah dan lingkungan pembelajaran. Interaksi dengan masalah berarti keterlibatan dengan masalah. Menurut Tan (2004) keterlibatan dengan masalah dan proses inquiry dengan masalah menciptakan disonansi kognitif yang menstimulasi pembelajaran, dan pengetahuan berkembang melalui proses kolaborasi dari negosiasi sosial dan evaluasi terhadap kelayakan pandangan seseorang. sehingga diperlukan lingkungan pembelajaran yang mendukung ketertarikan dan keterlibatan siswa agar menghasilkan kualitas belajar yang lebih baik (Savin-Badin, 2004).
Ciri-ciri PBL menurut Tan, 2004: masalah merupakan titik awal pembelajaran, masalah merupakan masalah dunia nyata, masalah menuntut perspektif majemuk, masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran. Masalah dalam PBL berbeda dengan masalah dalam penugasan (assignment) karena penugasan digunakan saat individu anggota kelompok harus mendalami materi tertentu yang ditugaskan untuknya (Amir, 2009). Masalah dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti kegagalan untuk melakukan sesuatu, situasi yang membutuhkan penanganan segera, kebutuhan untuk mencari cara yang lebih baik, fenomena yang tidak dapat dijelaskan, situasi pembuatan keputusan atau kebutuhan akan innovasi (Tan, 2009). Dengan kata lain, perumusan masalah yang dekat dengan konteks nyata merupakan syarat PBL dan ini merupakan satu keunggulan metode ini.
Perbedaan utama antara model PBL dengan model konvensional adalah terletak pada masalah. Perbedaan-perbedaan lainnya dituangkan dalam table berikut:


Tabel 2.1 Perbedaan Model Konvensional dan Model PBL
Model konvensional
Model PBL
Informasi dipresentasikan dan didiskusikan oleh pendidik.
Informasi tertulis yang berupa masalah diberikan sebelum kelas dimulai. Fokusnya adalah bagaimana pembelajar mengidentifikasikan isu pembelajaran sendiri untuk mememcahkan masalah. Materi dan konsep yang relevan ditemukan oleh pembelajar sendiri.
Pengetahuan dipindahkan dari pengajar ke pembelajar.
Pembelajar membangun pengetahuan.
Pembelajar menerima informasi secara pasif.
Pembelajar terlibat secara aktif.
Belajar dan penilaian adalah hal yang terpisah.
Belajar dan penilaian adalah hal yang sangat terkait.
Penekanan pada pengetahuan di luar konteks aplikasinya.
Penekananan pada penguasaan dan penggunaan pengetahuan yang merefleksikan isu baru dan lama serta menyelesaikan masalah konteks kehidupan nyata.
Pengajar perannya sebagai pemberi informasi dan penilai.
Pengajar sebagai pendorong dan pemberi fasilitas pembelajaran.
Fokus pada satu bidang disiplin.
Pengajar dan pembelajar mengevaluasi pembelajaran bersama-sama.
Pendekatan pada integrasi antardisiplin.

Beberapa kelemahan PBL menurut Sagala (2009) adalah sebagai berikut siswa dapat melakukan penipuan diri, dimana mereka hanya meniru hasil pekerjaan orang lain tanpa mengalami belajar, tugas bisa saja dikerjakan orang lain apabila tanpa pengawasan dan bila tugas diberikan secara umum mungkin seorang anak didik akan mengalami kesulitan karena kesulitan dengan adanya perbedaan pendapat individual. Menurut Sagala (2009) Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diatasi dengan: pemberian tugas yang jelas dan dapat dimengerti, tugas yang diberikan memperhatikan perbedaan individu, waktu yang diberikan cukup, adanya kontrol dan pengawasan secara sistematis dan bahan pelajaran yang ditugaskan diambil dari hal-hal yang dikenal siswa.
Langkah-langkah PBL menurut Tan (2004) adalah pemberian masalah, analisis awal, perolehan masalah, iterasi independent dan kolaboratif problem solving, pengintegrasian pengetahuan baru, solusi, presentasi dan evaluasi. Sedangkan  langkah-langkah dalam menjalankan PBL menurut  Amir(2009) adalah: Langkah 1: Siswa diberikan masalah kemudian mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas dari masalah yang diberikan, Langkah 2: Merumuskan masalah (melihat inti masalahnya apa), Langkah 3: Menganalisis masalah (merumuskan penjelasan yang mungkin dengan nalar, kemudian meninjau dari berbagai sudut pandang), Langkah 4: Menata gagasan dan menganalisnya lebih dalam, Langkah 5: Memformulasikan tujan pembelajaran, Langkah 6: Mencari informasi tambahan dari sumber lain, Langkah 7: Mensintesis (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat laporan. Ketujuh langkah tersebut dapat dilakukan dalam beberapa kali pertemuan. Siswa harus bekerja dalam kelompok untuk menyukseskan proses PBL sehingga siswa akan belajar tentang bagaimana seharusnya berperilaku dan bertindak antar sesama anggota kelompok.