Monday, May 6, 2013

Menciptakan Inovator - inovator baru

Para orang tua dan pendidik pada umumnya berusaha untuk membuat siswa atau anaknya untuk siap memasuki universitas terbaik minimal di negrinya. Pada umumnya (termasuk orang tua saya dulu) akan sangat bangga bila anaknya mengambil jurusan ilmu pengetahuan, teknik dan matematika. Ada anggapan bahwa jurusan-jurusan tersebut "lebih bergengsi". Namun bagi Wagner (penulis buku creating innovators), tujuan yang paling penting adalah seluruh siswa baik lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi harus "siap berinovasi" atau "innovation-ready". untuk mencapai tujuan ini, orang tua dan para pendidik harus mengembangkan rasa ingin tahu siswa, mengembangkan imaginasi, dan yang paling penting mengajarkan keterampilan-keterampilan.

Memasukkan anak ke sekolah yang "tepat" dan memperoleh nilai yang bagus tidak lagi menjadi jaminan keberhasilan. Seperti kita ketahui, banyak lulusan perguruan tinggi yang setelah lulus tetapi tidak berhasil memperoleh pekerjaan. Sehingga menurut Wagner anak-anak muda yang telah mengembangkan kapasitasnya untuk menjadi inovatif dan memiliki enterprenership adalah mereka yang tertarik dalamam menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri, sehingga akan memiliki kehidupan yang memuaskan dan karir yang lebih menjanjikan di masa depan. Inovasi adalah keterampilan yang dituntut lebih banyak pada dunia kerja saat ini dan sesuatu yang tidak dapat diperoleh secara otomatis atau di outsourcing-kan.

Hasil interview Wagner dengan para orang tua yang memiliki pemikiran inovatif, diketahui bahwa bagi para orang tua tersebut mengembangkan motivasi intrinsik anak adalah tujuan utama mereka. Mereka melakukannya dengan mendorong anak-anak untuk bermain, punya passion dan juga tujuan.

Wagner juga menemukan bahwa para orang tua tersebut mendorong jenis permainan yang tidak terstruktur dan mendorong motivasi anak. Anak-anak diberikan permainan yang mendorong kreatifitas seperti Lego dan bukan video game. Para orang tua tersebut juga hanya mengizinkan anak untuk menonton dalam waktu terbatas dan komputer diletakkan di ruang keluarga dan bukan di kamar anak sehingga penggunaanya bisa dimonitor.

Para orang tua memberikan kesempatan bagi anak nya untuk meng-eksplore berbagai macam kegiatan aktivitas diluar rumah, olah raga dan alat musik. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan ketertarikan anak dan bukan untuk menjadikan anak menjadi atlit hebat atau musisi hebat. Orang tua dari seorang inovator memahami  bahwa daya tahan (preserverance) dan disiplin untuk dapat berkembang dengan dengan baik bila anak sudah memiliki passion

Wagner juga mengadakan interview dengan guru-guru yang luar biasa, dia menemukan bahwa guru-guru tersebut menekankan pentingnya motivasi intrinsik, passion dan tujuan. Disaat bersamaan mengajarkan siswa untuk bekerja dalam kelompok, berani mengambil resiko (take risks) dan belajar dari kegagalan. Kirk Phelps, seorang pengembang produk iPhone pertama, mengajarkan para siswanya untuk memecahkan masalah dalam tim melalui projek yang menggabungkan beberapa mata pelajaran (dalam kurikulum international, dikenal dengan nama interdiciplinary project). 

Tidak semua anak muda akan menjadi Steve Jobs baru, namun kebanyakan para generasi muda dapat belajar keterampilan-keterampilan yang dapat menghasilkan pendekatan inovatif yang lebih banyak  terhadap apa yang mereka lakukan. Bagaimana cara para orang tua dan pendidik membesarkan dan mengajarkan generasi berikutnya pastinya akan membuat perbedaan.


sumber : www.tonywagner.com

Menciptakan Siswa Yang Ber-inovasi

Saat ini banyak lembaga pendidikan yang meng-claim sebagai lembaga pendidikan yang terbaik dengan menawarkan berbagai bentuk pembelajaran. Ada yang menawarkan program persiapan memasuki universitas, bentuk pembelajaran online, e-texts, dsb. Namun, pada dasarnya mereka hanya mengubah sifat bagaimana pembelajaran disampaikan kepada pembelajar.  Fokus utamanya biasanya adalah bagaimana untuk memperoleh nilai dengan baik. Padahal untuk sukses di abad ke-21 ini, diperlukan tidak sekedar seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki siswa namun lebih kepada bagaimana siswa tersebut menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.

Saat ini, pengetahuan merupakan free commodity. Kesempatan untuk belajar lebih terbuka dan terjangkau misalnya dengan program pembelajaran gratis (meskipun belum 100%), pendidikan universitas (misalnya UT) yang terjangkau, ditunjang dengan kemudahan mendapatkan informasi, misalnya dengan mengakses internet, hal ini membuat pengetahuan bisa dimiliki oleh siapa saja dan tidak lagi menjadi nilai saing bagi pemiliknya.

Menurut Wagner (pakar pendidikan dari Harvard university) yang paling penting dalam tantangan dunia pendidikan saat ini adalah bagaimana meluluskan siswa-siswa yang siap berinovasi atau innovation-ready. Hal ini didukung oleh Thomas L. Friedman (New York Times columnist) yang menyatakan bahwa saat ini, untuk mendapatkan pekerjaan, para lulusan bersaing dengan siswa-siswa dari seluruh dunia, sehingga mereka yang akan mendapatkan pekerjaan dan terus dapat bekerja dalam perekonomian global adalah mereka yang memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah (problem solving). Mereka yang memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah akan mampu untuk memperbaiki produk, proses dan layanan yang ada bahkan menciptakan  yang baru.

Meskipun banyak perdebatan yang mengemukakan bahwa seseorang yang hebat (misalnya pemimpin) karena memang sudah terlahir demikian, namun ada teori yang mengemukakan bahwa seorang pemimpin juga bisa diciptakan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa generasi muda juga bisa diajarkan untuk berinovasi meskipun mereka tidak dilahirkan sebagai inovator. Wagner memberikan contoh sekolah bernama High Tech atau the New Technology High Schools di San Diego, California yang memiliki reputasi dalam menghasilkan lulusan yang inovatif. Sekolah tersebut mengajarkan cara yang sangat berbeda dengan pendidikan konvensional.

Sekolah-sekolah tersebut fokus pada pembelajaran keterampilan dan bukan pada konten akademis, termasuk keterampilan berpikir kritis dan problem-solving, mereka mengajarkan cara berkomunikasi efektif baik lisan maupun tulisan dan juga keterampilan untuk bertahan seperti kolaborasi dan inisiatif. Mereka membuat siswa terlibat dan tertantang dengan konten akademis meskipun penguasaan konten (content mastery) bukan merupakan tujuan pembelajaran utama mereka. Dalam seluruh kelas, siswa harus menggunakan konten akademis untuk memecahkan masalah dan menghasilkan atau menjawab pertanyaan kompleks. Siswa diminta untuk mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari dan menunjukkan apa yang mereka ketahui. Siswa juga lebih sering melakukan nya dalam kerja kelompok.



sumber : www. tonywagner.com